Cara Profit dari Saham IPO, Ikut Book Building atau Beli Setelah Listing?
Pengantar – Proses IPO
Terlebih dahulu kita harus mengetahui apa itu IPO. IPO merupakan singkatan dari Initial Public Offering atau dalam bahasa indonesia artinya Penawaran Publik Perdana.
Perusahaan yang ingin IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI) akan menawarkan sebagian kepemilikan sahamnya, misal 30% dari total valuasi. Jadi kalau punya valuasi Rp4 trilliun, maka 4T x 30% = Rp1,2T akan di jadikan milik publik.
Tapi apa ada orang yang mampu beli sahamnya dengan uang Rp1,2T langsung? Tentu ada, tapi tidak semua orang bisa. Untuk itu, emiten yang akan go publik harus membaginya ke lembar saham yang lebih kecil. Misalkan perusahaan tersebut memecah Rp1,2T menjadi 1 milyar lembar saham. Artinya, kini untuk membeli 1 lebar saham cukup menyiapkan uang Rp1200 saja!
Book Building
Hhhmmm… Bentar. Tapi kan judulnya “Penawaran”? Apa iya langsung dijual Rp1200/lembar begitu saja? Tentu tidak. Perusahaan melalui underwriter (penjamin emisi efek, biasanya menunjuk salah satu sekuritas) akan membuat penawaran harga ke calon investor yang tertarik, contohnya saham tadi akan di tawarkan dari rentang Rp1000-Rp1500/lembar. Proses ini dinamakan Book Building. Calon investor harus bid di dalam rentang harga ini.
Kita tidak boleh bid lebih dari Rp1500 atau kurang dari Rp1000. Tapi secara logika, tentu saja kita akan pasang bid di harga termahal. Karena kalau pasang bid lebih murah nanti tidak akan diambil sama mereka. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga membuat ketentuan tentang batas maksimal penjatahan, jadi kita tidak bisa membeli semua sahamnya. Tergantung besaran nilai IPO, misal untuk investor ritel maksimal 5% dari nilai.
Saat ini, proses book building dilakukan secara elektronik/online sehingga bisa lebih transaparan. Proses book building sesuai ketentuan OJK ada dua macam, yaitu Penjatahan Pasti (Fixed Allotment) dan Penjatahan Terpusat (Pooling). Bedanya, kalau fixed itu pesan dulu baru bayar di akhir, biasanya untuk investor institusi. Sedangkan untuk pooling kita tawar-tawaran seperti tadi, kita harus setor dana dulu untuk bid.
Tujuan emiten melaksanakan IPO adalah untuk mencari sumber dana baru. Jika pakai contoh tadi, maka Rp1500 x 1 milyar lembar = Rp1,5 trillun dana segar akan didapatkan secara cuma-cuma. Emiten yang awalnya hanya punya aset Rp4T, sekarang punya tambahan uang Rp1,5 trilliun.
Dana ini biasanya akan digunakan oleh emiten untuk bermacam-macan kegiatan, misal untuk membangun pabrik baru, membeli lahan, membeli kebutuhan operasional, dsb.
Ikut book building vs beli setelah listing
Oke. Sekarang apa bedanya? Jika kita ikut Book building, berarti kita sudah punya saham duluan sebelum saham melantai di pasar bursa. Keuntungan ikut book building adalah kita dapat harga murah. Sedangkan, kalau beli setelah listing akan beli sulit lagi belinya. Pada hari awal-awal IPO, biasanya saham hanya ditransaksikan sekian juta saja. Artinya banyak orang tidak mau melepas sahamnya.
Akibatnya harga akan melambung sampai ARA (Auto Reject Atas, baca di sini). Bukan rahasia umum bahwa harga saham IPO akan terbang 2-3 hari (kadang lebih) setelah listing. Habis itu? Tentunya harga saham akan naik turun dengan transaksi lebih besar. Hal ini disebabkan karena banyak yang jual saham hasil book building untuk ambil untung. Kalau dipikir-pikir, jumlah transaksi saham ketika naik dan turun tidaklah seimbang.
Banyak cerita orang ikut book building bukan karena ingin investasi, tapi karena ingin dijual setelah listing. Resiko dengan tujuan seperti ini adalah kita bisa saja tidak kebagian jatah. Saya sering melihat banyak saham yang ARB setelah listing. Bahkan harga turun sampai di bawah harga IPO. Tidak sedikit pula saham yang harganya parkir di Rp50 alias tidak bergerak lagi setelah sekian bulan.
Book building juga sudah pasti ada bandarnya. Bandar IPO punya koneksi dengan orang dalam, jadi mereka punya informasi duluan misal tahu besaran penjatahan ritel = 5% dari nilai IPO. Maka, mereka akan menyiapkan dana sebanyak 5% itu juga dan pasang bid sesegera mungkin.
Bandar ingin menguasai porsi saham yang banyak, sehingga mereka bisa mengontrol harga saham setelah listing di bursa saham. Mereka akan dengan mudah membuat harga saham meroket sampai ARA berkali-kali. Setelah mereka rasa cukup, maka harga saham akan dijual habis-habisan.
Kesimpulan
Trader yang beli setelah listing punya resiko jadi tukang cuci piring. Alias kebagian apesnya, gak ikut menikmati. Jangan tergiur melihat harga yang naik tinggi karena itu semua hasil gorengan bandar. Sekalipun kita dapat, itu karena mereka melepas saham dan mereka sudah pasti untung.
Begitu pula kalau ikut book building, bisa jadi kita tidak kebagian jual karena harga sudah dibanting duluan. Bahkan sampai ARB berkali-kali karena tidak ada yang minat beli melihat harga turun terus.
Mau ikut book building ataupun setelah listing tidak ada yang jelek. Selama fundamental emiten mumpuni, toh harga saham juga akan naik. Saham-saham yang ditransaksikan tiap hari juga dulu pernah IPO kan? Tapi sekarang lihat, saham tersebut masih ramai dijual dan dibeli orang. Begitupun harganya juga kadang naik kadang turun.
Sekian artikel tentang IPO. Semoga bisa menjadi gambaran. Kalau ada pertanyaan, kritik, atau saran, silahkan tinggalkan komentar di bawah.
Terima kasih.