Analisa BBRI: Raja Mikro yang Lagi Mager

Analisa Saham #002
BBRI: Raja Mikro yang Lagi Mager

Alasan mengapa harga saham BBRI stagnan 5-8 tahun terakhir

Kami di Muhaaz Saham selalu menyukai cerita saham yang rasanya seperti film panjang yang penuh aksi, plot twist, dan tentu saja ending yang belum jelas. Salah satunya adalah Bank Rakyat Indonesia (BBRI).

Bank sejuta UMKM. Bank yang branding-nya “merakyat” dan nilai kapitalisasi pasarnya bisa bikin investor retail terkesima.

BBRI bukan bank biasa.

Core business BBRI adalah kredit mikro, yang artinya mereka meminjamkan uang ke segmen masyarakat dan pelaku usaha yang sering kali tidak tersentuh bank lain.

Mikro ini bukan hal remeh ya, karena justru di sinilah BBRI jadi raja. BBRI adalah mesin pencetak uang dari kredit kecil-kecilan.

Mereka juga punya segmen komersial, konsumer, dan korporat. Tapi pendapatan bunga paling besar justru datang dari segmen mikro yang berkontribusi sekitar 40-45% dari total kredit.

Margin-nya tinggi karena bunga kredit mikro bisa mencapai dua digit, jauh di atas kredit korporat yang kadang malah kayak diskon harga Indomaret yang tipis banget.

Jangan lupa adanya BRI Agro (sekarang BRK – BRI Digital) yang mulai digiring ke arah digital lending, dan unit-unit usaha seperti Pegadaian dan PNM (Mekaar) di bawah PT Permodalan Nasional Madani

BBRI bukan cuma bank, tapi adalah ekosistem mikrofinansial terbesar di Indonesia.

Ketika ekonomi membaik, UMKM ekspansi, pinjam lebih banyak, dan membayar lebih lancar.

Ketika ekonomi lesu? Kredit seret, NPL naik, dan margin ikut tertekan.

Saat pandemi 2020, BBRI sempat babak belur karena portofolio mikronya dihantam telak. Banyak debitur yang masuk program restrukturisasi.

Kalau sekarang? Ekonomi memang sudah recovery sih, tapi secara global ada sentimen suku bunga tinggi, pertumbuhan ekonomi moderat, dan tekanan dari likuiditas pasar modal yang membuat investor global ogah ambil risiko lebih.

Ditambah lagi, adanya kompetisi dari fintech lending juga jadi ancaman baru. Walau kecil skalanya, fintech punya daya tarik seperti: cepat, mudah, dan tidak terlalu birokratis.

Tapi kami percaya, sampai sekarang belum ada yang bisa tandingin jangkauan dan sistem kolektibilitas BBRI.

Para fintech ini masih sekelas pengganggu BBRI, belum menjadi pembunuh bayaran seperti di film-film.

Uniknya BBRI adalah jaringan distribusinya.

Mereka punya lebih dari 100 ribu agen BRILink di pelosok Indonesia, yang jadi perpanjangan tangan perbankan tanpa harus bangun cabang mahal-mahal.

Ini semacam “warung modern” yang bisa kirim uang, tarik tunai, bahkan jadi tempat bayar tagihan.

Sistem ini nggak cuma efisien, tapi juga jadi barrier yang luar biasa tinggi bagi pesaing.

Anda mau bikin bank baru? Silakan, tapi silakan juga coba bikin jaringan di seluruh desa dari nol. Good luck.

Tapi bukan berarti tanpa ancaman.

NPL mikro (Non-Performing Loan alias kredit macet) selalu jadi momok. Walau terkendali di bawah 3%, tetap saja ini segmen yang sensitif. Salah kelola sedikit, bisa meledak.

Belum lagi ancaman jangka panjang dari disrupsi digital dan naiknya literasi keuangan, yang bisa menggeser preferensi masyarakat ke aplikasi pinjaman yang lebih simpel.

Jadi… kenapa harga saham BBRI begitu-begitu saja dalam 5-8 tahun terakhir?

Nah, ini dia yang sering bikin investor garuk-garuk kepala (dan dompet). Sudah capek-capek averaging down tapi kok nggak naik-naik?

Secara teknikal, BBRI memang sempat naik dari 3.000 dan hingga ke 6.400 di 2024 dalam beberapa tahun terakhir.

Tapi kalau kita tarik garis dari tahun 2017, saham BBRI cenderung sideways. Naik turun, naik turun.

Bahkan ketika kami menulis ini (Juli 2025), harga saham BBRI ada di sekitar 3600an. Jadi kalau Anda simpan sejak 2017 maka untung 20% saja.

Jadi apa masalahnya? Padahal laba naik dan tetap bagi dividen

Pertama, valuasi sudah premium. BBRI itu bank dengan valuasi paling mahal dibanding bank lain (PBV bisa di atas 2x).

Karena market sudah pricing-in semua keunggulannya. Jadi biar harga BBRI bisa naik perlu katalis besar, bukan sekadar kinerja bagus.

Kedua, ukuran market cap-nya sudah jumbo. Ini bukan saham kecil yang bisa naik 50% hanya karena rumor atau sentimen.

BBRI butuh aliran dana besar dari investor institusi global, dan itu hanya datang kalau kondisi ekonomi benar-benar bersinar.

Ketiga, mari kita jujur: investor lokal banyak yang beli BBRI karena “aman” dan embel-embel blue chip.

Saham BBRI sering dianggap investor ritel sebagai saham stabil yang cocok buat dividen dan jangka panjang. Tidak seperti saham gorengan dan saham growth untuk cuan cepat.

Akibatnya, bensin untuk mendorong harga lebih tinggi juga terbatas. Ditambah tekanan global dan suku bunga tinggi, investor asing cenderung wait-and-see.

Penutup

BBRI adalah raksasa keuangan mikro yang kokoh, dengan jaringan distribusi paling luas dan model bisnis yang tidak mudah ditiru. Selama ekonomi Indonesia masih berkembang, maka peluang pertumbuhan tetap terbuka.

Kalau Anda tipenya suka “saham tenang yang kerja keras di belakang layar” dan tinggal terima dividen, maka BBRI cocok buat Anda.

Tapi kalau Anda cari saham yang bisa bikin portfolio loncat seperti trampolin? Ya… mungkin bisa cari di tempat lain dulu.

Salam,
Muhaaz Saham (MUSA)

Disclaimer:
Bukan ajakan membeli atau menjual saham

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *